Disusun guna sebagai tugas dalam pembelajaran
Mata Kuliah
Etikolegal
Dosen pengampu:
Florentina
Kusyanti. SS
DI SUSUN OLEH
Notin Lolita (16140148)
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
KEBIDANAN DIII-DIV
BIDAN PENDIDIK
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017
Pendahuluan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal
yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.
A. KASUS
RS Wahidin Tolak Pasien Bayi Tanpa Batok Kepala
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok
kepala terpaksa dibawa pulang oleh kedua orang tuanya, Jumat, karena ditolak
oleh rumah sakit rujukan RS Wahidin Makassar. Bayi itu lahir di Puskesmas
Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar pada hari Rabu 22 Agustus
sekitar pukul 19.00 Wita dari pasangan Subaedah (istri 20) dan Akbar Hasan
(suami 25). Bayi pertama perempuan dan merupakan anak keempat pasangan suami
itri itu belum sempat mendapat pelayanan khusus karena RS Wahidin yang menjadi
rujukan tidak menerima bayi tersebut. Alasannya, kedua orang tua bayi itu tidak
memiliki kartu Bantuan Tunai Langsung (BTL). Sampai hari Jumat (24/8) pukul
16.00 Wita bayi malang itu masih dapat bertahan hidup. Dokter Emilia Handayani,
kahumas RS Wahidin mengatakan pihak rumah sakit harus mengikuti prosedur
penerimaan pasien yang tidak mampu. "Setiap pasien tidak mampu
harus menyertakan kartu BTL dan bukan sekadar keterangan miskin dari kelurahan
atau camat. Banyak orang yang mampu tetapi berpura-pura miskin dan memiliki
kartu BTL," katanya. Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari
pemerintah untuk menghentikan bantuan pelayanan untuk keluarga miskin sejak
Juni 2007, karena tunggakan pemerintah untuk membiayai pelayanan kesehatan di
RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar.
"Sampai saat ini, RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi
bagaimana kami bisa melayani lagi, sementara biaya operasional sangat
terbatas," katanya.
Dia menambahkan, pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak
pasien dari keluarga miskin sepanjang memiliki kartu BTL dan bukti-bukti
pendukung bahwa pasien berasal dari keluarga tidak mampu.
Subaedah (ibu bayi itu) mengatakan sangat terkejut ketika
mengetahui anak perempuan yang selama ini diharapkannya memiliki kelainan.
Proses persalinan yang dibantu bidan Reni itu, kata Subaedah,
berjalan tidak seperti persalinan ketiga anak laki-lakinya sebelumnya.
"Sebelum bayi saya keluar, sekitar satu ember air bercampur
lendir keluar dari mulut rahim. Setelah itu keluar barulah bayi saya keluar dengan
normal," ujar Subaedah dengan raut wajah sedih.
Lanjutan kasus :
Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS Wahidin
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok
kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir Jumat sore saat bayi tersebut
hendak dirujuk ke Rumah Sakit Labuangbaji karena ditolak di RS rujukan Wahiddin
Sudirohusodo, Makassar. Anak ke empat pasangan Subaedah (20) dan Akbar Hasan
(25) itu meninggal dunia dalam perjalan menuju rumah sakit Labuangbaji setelah
bertahan hidup selama dua hari. "Kami hanya pasrah saja, mungkin ini
kehendak yang di atas," ujar Akbar yang setiap harinya berprofesi sebagai
pengayuh becak itu.
Jenazah bayi yang lahir dengan berat badan 2,8 kg dan panjang 48
cm di Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar itu langsung
dikebumikan di pekuburan umum Kabupaten Maros, Sulsel Jumat malam sekitar pukul
19.00 Wita.
Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS Wahidin, sebuah
rumah sakit negeri terbesar di Kawasan Timur Indonesia, namun pihak RS menolak
merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti
penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) keluarga miskin. Dr Emilia Handayani,
Kahumas RS Wahidin mengatakan, pihak rumah sakit harus mengikuti prosedur penerimaan
pasien yang tidak mampu.
"Setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BLT dan
bukan sekedar keterangan miskin dari kelurahan atau camat, karena banyak orang
yang mampu tetapi berpura-pura miskin dan untuk membuktikannya, harus ada kartu
BLT," ujarnya.
Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari pemerintah untuk
menghentikan pelayanan untuk keluarga miskin sejak bulan Juni 2007 karena
tunggakan pemerintah untuk membiayai pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di
atas Rp10 miliar.
"Sampai saat ini,
RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi bagaimana kami bisa melayani lagi,
sementara biaya operasional sangat terbatas," katanya. Dia menambahkan,
pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari keluarga miskin
sepanjang memiliki kartu BLT dan bukti-bukti pendukung bahwa pasien berasal
dari keluarga tidak mampu. Akbar, ayah bayi itu mengatakan, kendati
tidak memiliki kartu BLT, dirinya sudah mengikhlaskan kepergian anak pertama
perempuannya itu. "Kita sudah berusaha namun Tuhanlah yang menentukan
semuanya.
B. Pembahasan Kasus/Menganalisis Kasus
Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat
oleh rumah sakit dengan alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti
pada kasus yang diambil dari situs kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan
judul “Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS W” pada tanggal 25
Agustus 2007. Dari berita tersebut berisikan mengenai bayi perempuan yang lahir
tanpa batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore saat
bayi tersebut hendak dirujuk ke RS L karena ditolak di RS W. Bayi tersebut
meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS L setelah bertahan hidup selama dua
hari. Jenazah bayi yang lahir dengan langsung dikebumikan di perkuburan umum.
Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS W, sebuah rumah sakit negeri,
namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat
menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) keluarga
miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi
kesehatan terhadap bayi tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang
berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981
yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak dirawat dokter
3. Undang-undang
Kesehatan no 23 tahun 1992 yang telah dirubah menjadi UU no.36 tahun 2009
tentang kesehatan.
Kasus ini membuktikan
bahwa hukum di Indonesia mengenai kesehatan belum berjalan dengan baik. Banyak
bentuk bantuan yang diprogramkan oleh pemerintah, tetapi dalam menjalankan
pelaksaannya masih banyak masyarakat,organisasi atau dalam bentuk apapun belum
dapat menjalankan sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Suatu
bantuan yang diberikan oleh pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat
yang kurang mampu, sekarang menjadikan masyarakat susah dalam mendapatkan suatu
pelayanan.
Dari kasus itu
seharusnya RS W tetap menerima pasien bayi ditinjau dari segi etika dan hukum
bukan menolak pasien lantaran tidak mempunyai biaya berobat. Padahal RS W
merupakan salah satu rumah sakit negeri (milik pemerintah). Sehingga soal
pembiayaan dana seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan RS W sesuai
dengan pasal 7 UU Kesehatan no 36 tahun2009.
C. Pemecahan Masalah
Hukum di Indonesia
harus sebaik mungkin diterapkan, jika ada yang melanggar dari yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, maka orang tersebut harus diberikan sanksi yang
seimbang dan korban dari pelanggaran tersebut harus diberikan perlindungan dan
diberikan suatu tanda ganti rugi. Jika suatu kasus yang sudah terlanjur
terjadi, kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara ke pengadilan atau ranah
hukum yang menegakan suatu keadilan ataupun dengan cara mediasi
1. Mengidentifikasi isu-isu atau topik umum
permasalahan dan menyepakati sub topic permasalahan yang akan dibahas dan
menentukan urutan sub topic yang akan dibahas dalam proses perundingan.
2. Memberikan pengarahan
kepada para pihak mengenai tawar menawar untuk pemecahan maslah
3. Mengubah pendirian
para pihak dari posisi menjadi kepentingan.
4. Membantu para pihak
menaksir,menilai dan memprioritaskan kepentingan-kepentingan.
5. Memperluas dan
mempersempit sengketa.
6. Membuat agenda
negosiasi.
7. Memberikan
penyelesaian alternative (saran)
D. Tujuan Hukum
Kesehatan:
Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa,
yang berarti memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan,pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan kesehatan adalah
tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung
jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-sama.
Tujuan hukum Kesehatan pada
intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan
ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat
diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi (Mertokusumo,
1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum kesehatanpun tidak
akan banyak menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal inidilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan dimana
banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.
Referensi kasus hokum:
http://rizalrecht.blogspot.co.id/2014/11/contoh-kasus-hukum-kesehatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar